Jumat, 27 Juni 2014


Jum’at (2/5) kemarin, merupakan hari ulang tahunnya Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Di negeri ini, hari kelahiran beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hal ini dikarenakan semangat dan tekad beliau di dalam memperjuangkan rakyat pribumi agar dapat menikmati pendidikan selama era kolonialisme Belanda sangatlah besar. Pada masa itu, beliau berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan, sedangkan rakyat miskin tidak diperbolehkan. Akibat dari aksi keberaniannya tersebut, beliau sempat diasingkan ke Belanda, dan kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia.  

Perbedaan strata sosial –kaya dan miskin—dalam dunia pendidikan kita saat ini telah tiada. Sekarang, orang kaya maupun miskin bebas menentukan pilihannya masing-masing dalam urusan menyekolahkan anak-anak mereka. Semua ini berbanding terbalik dengan zamannya Bapak Pendidikan kita, bukan? Yang membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga untuk sekedar mencicipi lezatnya susunan abjad-abjad. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah semangat (spirit) kita dalam mewujudkan cita-cita yang mulia dari Bapak Pendidikan tersebut mengalami penurunan atau bahkan hilang.

Pada era kolonialisme Belanda, para pejuang bangsa kita terdahulu mendapatkan ancaman dan tempaan dari bangsa penjajah ketika mereka menuntut ilmu. Namun, saat ini tempaan tersebut justru datang dari kalangan orang-orang dalam (para oknum pengelola institusi pendidikan) dan terkadang juga datang dari orang-orang terdekat para peserta didik itu sendiri. Sungguh ironis, bukan?

Sebagaimana trending topic dari berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik dewasa ini, banyak memberitakan perihal hiruk-pikuknya problematika yang tengah terjadi di berbagai institusi pendidikan. Mulai dari adanya kasus “kawakan” yaitu perpeloncoan, perkelaihan antar pelajar, pelecehan seksual, hingga kasus pembunuhan di dalam institusi pendidikan hampir disuguhkan setiap harinya.  

Berawal dari terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pedofilia terhadap siswa taman kanak-kanak di Jakarta Internasional School (JIS) bulan lalu, pada giliran yang berikutnya, banyak muncul berita yang bermotif serupa; seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswinya sendiri yang masih duduk di SMP Islam Sabilillah, Kota Malang, Jawa Timur (Kompas.com, 30/4). Kemudian, seorang pelajar putri tingkat SMA inisial HP (15) didampingi ayahnya RN (55), warga Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, melapor ke Polda Bengkulu karena perlakuan asusila dari AZ dan beberapa rekannya selama 40 hari (Tribunnews, 30/4).

Selain kasus pelecehan seksual sebagaimana telah di sebutkan di atas, dunia pendidikan kita kembali ditampar oleh adanya kasus pembunuhan yang terjadi di dalamnya. RA (37) warga Pedukuhan Sedan Desa Sidorejo Kecamatan Lendah yang merupakan Bu Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Rela Bhakti 2 Wates dibunuh rekan sesama guru, Sug (45) warga Pengasih, Sabtu (03/05/2014). Sug tega membunuh diduga karena merasa jengkel terhadap korban. Korban tewas di perjalanan menuju rumah sakit setelah mendapat beberapa kali tusukan dari pelaku (KRjogja, 4/5). Di samping itu, berita yang masih hangat diperbincangkan pada pekan ini adalah kasus meninggalnya bocah kelas 5 SD Makasar 08/09, Jakarta Timur diduga karena dikeroyok oleh 5 kakak kelasnya cuma gara-gara si korban menumpahkan minuman mereka secara tidak disengaja. 

Melihat realita yang ada, saat ini, dunia pendidikan kita seakan telah melupakan pesan agung dari sang Bapak Pendidikan, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Padahal, menurut penulis, semboyan ini merupakan kunci sukses dari suatu proses pendidikan.

Kaitanya dengan semboyan tersebut, yang berperan sebagai ing ngarso sung thulodo, di depan memberi contoh adalah guru. Guru itu (digugu lan ditiru), istilah inilah yang seharusnya benar-benar diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita. Untuk menjadi seorang guru yang dapat digugu lan ditiru, selain memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, seorang guru dituntut untuk memiliki akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur yang selalu dipraktikkan di dalam kehidupannya sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Dari situ,  secara tidak langsung, pendidikan akhlak dan budi pekerti akan tersalurkan dengan baik kepada para peserta didik. Bukankah hal ini menjadi tujuan utama dari pendidikan karakter? 

Sayangnya, untuk mewujudkan semua itu masih sangat sulit. Selama ini, mayoritas guru hanya mampu mengajar, belum sampai pada tahap mendidik peserta didik. Kebanyakan dari mereka hanya mengajar peserta didik untuk mengejar suatu target, yaitu barisan digit-digit angka yang berjajar vertikal di dalam lembaran rapot ataupun ijazah, dengan dalih agar tidak mendapatkan omelan dari atasan sekaligus gaji bulanan yang “menggiurkan”. Sedangkan, keteladanan akhlak sekaligus budi pekerti yang luhur sangat minim diterapkan atau bahkan dilupakan.
Rasanya kurang etis, jika hanya menyalahkan peran guru atau sistem pendidikan yang ada terkait dengan adanya beragam problematika pendidikan sekarang ini. Sebagai pelaku ing madya mangun karso, tut wuri handayani, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan, keadaan lingkungan dan kondisi keluarga juga memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam hal tersebut. Para orang tua dari peserta didik, seringkali lupa memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Mereka hanya disibukkan dengan pekerjaan, sedang pola pergaulan anak-anaknya kerap kali mereka abaikan. Kurangnya nasehat dan belaian kasih sayang dari orang tua inilah yang sering kali mengakibatkan para peserta didik itu berperilaku secara bebas, liar, hingga terkadang juga sampai pada perilaku yang merusak dan merugikan orang lain.

Di sisi lain, kurangnya keteladanan dari orang tua akibat minimnya interaksi dengan anak-anaknya (peserta didik) juga memberikan dampak yang negatif. Pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik akan sulit didapatkan oleh para peserta didik. Pada dasarnya, kehidupan keluarga merupakan tempat dimana pendidikan tersebut kali pertama sekaligus paling banyak di terapkan. Sehingga, akan mengalami ketimpangan jika proses pendidikan itu hanya berlangsung di lingkungan sekolah saja. Sistem pendidikan yang ada di sekolah hanya berupa cara pembelajaran yang ditawarkan. Namun, penentu keberhasilan dari pendidikan tersebut tetap tidak terlepas dari adanya peran guru dan terlebih lagi peran orang tua dan keadaan lingkungan yang ada.

Akhirnya, sebagai refleksi Hardiknas pada tahun ini, kiranya kita harus merenungkan kembali semboyan dari Bapak Pendidikan kita, yaitu “Ing ngarso sung thulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” untuk menumbuhkan kembali spirit pendidikan, sebagaimana pernah beliau gelorakan pada zaman kolonialisme Belanda beberapa abad yang lalu. Tujuan utama dari sebuah proses pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan yang luas serta dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Dan, untuk mewujudkan semua itu, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Semua oknum dari institusi pendidikan, semua orang tua serta lingkungan yang baik dari peserta didik harus saling mendukung satu sama lain. Dengan begitu, tujuan utama dari suatu proses pendidikan lambat laun akan segera terwujud. Yaitu, pendidikan yang mencetak manusia yang cerdas, berpengetahuan luas sekaligus dihiasi dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Wallahu a’lam bi showab.

(Dimuat di Batam Pos, 8/5/2014)

0 komentar:

Posting Komentar