Penulis:
Wali Ramadhani
Penerbit:
Mizan, Bandung
Cetakan:
I, Mei 2014
Tebal
Buku: 176 halaman
ISBN:
978-602-1337-13-4
Pada
dasarnya, puasa merupakan suatu ibadah yang cukup berat untuk kita kerjakan.
Betapa tidak, keperluan-keperluan naluriah/biologis yang manusiawi (makan,
minum, melakukan hubungan suami-istri, dan lain-lain) dilarang dilakukan sedari
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Menyadari
akan beratnya ibadah puasa tersebut, Al-Quran telah menyiapkan suatu “strategi
komunikasi” yang hebat sehingga para pembaca/pendengarnya terdorong untuk
melaksanakannya dengan hati yang ringan dan ikhlas. Buktinya, ketika bulan
Ramadhan tiba, banyak di antara kaum muslim (yang beriman) yang selain
menjalankan ibadah puasa, mereka juga sangat antusias untuk mengerjakan amal
kebaikan yang lain, seperti salat tarawih, tadarusan, saling bersedekah antara
satu dengan yang lainnya, dll.
Melalui
buku ini, Wali Ramadhani mencoba untuk menelaah “strategi komunikasi” Al-Qur’an
tersebut melalui tafsir sastrawi atas ayat-ayatnya yang berbicara tentang
puasa. Di dalam melakukan kajiannya terhadap ayat-ayat puasa tersebut, ia
menggunakan teori penedekatan sastra yang digagas oleh Amin al-Khuli
(1895-1996).
Tafsir
sastrawi Amin al-Khuli ini merupakan tindak lanjut dari keberanian Muhammad
‘Abduh yang mengkritisi produk-produk tafsir terdahulu, terlebih lagi
produk-produk tafsir yang erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan
tertentu, seperti ideologi, politik, dan lainnya. Dengan kata lain, tafsir ini
bertujuan untuk memandang Al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar yang memiliki
pengaruh sastrawi terdalam. Sehingga, selain sebagai kitab agama yang suci yang
diturunkan oleh Allah Swt. melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad Saw., Al-Qur’an juga dapat dikatakan sebagai teks yang menjalankan
pengaruhnya dan efektivitasnya terhadap umat Islam dan juga non-Muslim melalui
karakteristik kebahasaan dan artistik yang khas, yang membedakan dari teks-teks
lainnya (hlm 26-28).
Dalam
proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Amin al-Khuli menyarankan kepada para
penafsir agar melakukan tiga kajian utama untuk mendapatkan makna atau maksud
dari ayat-ayat tersebut secara tepat dan utuh. Tiga kajian utama tersebut
diantaranya adalah kajian seputar Al-Qur’an (dirasah ma hawla al-Qur’an), yaitu mengkaji mengenai proses
turunnya Al-Qur’an, penghimpunannya, perkembangannya, dan sirkulasinya dalam
masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta variasi cara bacanya (qira’ah) serta bagaimana aspek sosial-historis
dari Al-Qur’an tersebut.
Kajian
selanjutnya yaitu mengenai Al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi al-Qur’an) yang meliputi kajian terhadap kosakata dan
susunan kata (murakkabat)-nya.
Kemudian, kajian terakhir yang harus diperhatikan dalam tafsir sastrawi yaitu mengenai
aspek psikologis (al-tafsir al-nafs).
Yang menjadi fokus dalam aspek ini adalah rahasia-rahasia (motif) di balik
gerakan-gerakan jiwa manusia dalam berbagai ranah dan bidang yang disentuh oleh
misi keagamaan Al-Qur’an, dialog doktrineral Al-Qur’an, pengolahan Al-Qur’an
terhadap intuisi dan hati, penerimaan Al-Qur’an terhadap masa lalu yang memang
dapat diterima jiwa dan diwarisi secara
turun-temurun dari generasi ke generasi (hlm. 30-33).
Berdasar
pada tiga kajian utama itulah, dalam buku ini, penulis mencoba menafsirkan ayat-ayat
tentang puasa (Al-Baqarah/2: ayat 183-185). Secara sistematis, susunan ayat
dari ketiga ayat tersebut sangat menyentuh psikologis para pembacanya. Ayat
tentang puasa ini dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman,
walau seberat apa pun, untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan yang
dimulai dengan panggilan mesra, “wahai orang-orang yang beriman”.
Selanjutnya,
dalam menjelaskan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan
kepada hamba-Nya, Allah tidak menyebutkan nama-Nya secara langsung pada ayat
183 tersebut. Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M. Ag., dalam
pengantarnya, ia mengatakan bahwa hal ini mengisyaratkan apa yang akan
diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan
setiap kelompok, sehingga andaikata bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya
manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri (halaman 17).
Dalam
mewajibkan ibadah puasa kepada para hamba-Nya, selain menggunakan panggilan
yang mesra, Allah memberikan perumpamaan dengan puasanya “kaum terdahulu”,
meski sejatinya rincian cara pelaksanaannya berbeda-beda. Hal ini memberikan
kesan bahwasanya ibadah puasa itu dapat atau bahkan ringan untuk dilaksanakan,
meski sejatinya ibadah tersebut sangatlah berat untuk dilaksanakan. Kewajiban
puasa tersebut dimaksudkan supaya manusia bertakwa, yakni terhindar dari segala
sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi.
Bahasa
Al-Qur’an memang sangatlah indah, berbeda dengan bahasa manusia pada umumnya.
Dalam mewajibkan puasa, di samping menyapa para pembacanya dengan sebutan yang
mulia (wahai orang-orang yang beriman), ia menjelaskan terlebih dahulu tentang
tujuan dari diwajibkannya puasa tersebut (takwa). Setelah itu, pada ayat
selanjutnya (Al-Baqarah: 184), dijelaskan tentang keringanan-keringanan yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang terpaksa tidak mampu melaksanakan
ibadah puasa pada waktu yang telah Ia tentukan. Dan, baru kemudian, pada ayat
185, Allah menjelaskan tentang berapa lama ibadah puasa itu harus dilaksanakan.
Susunan ayat yang demikian sangatlah indah, berbeda dengan susunan bahasa
manusia pada umumnya. Sekedar contoh: pada saat suatu lembaga atau komunitas
akan mengadakan suatu perlombaan yang berhadiah, kebanyakan dari mereka dalam
menginformasikan lomba tersebut pada suatu pamphlet atau brosur, mereka lebih
mengutamakan informasi tetang syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tersebut
ketimbang besar hadiah yang akan diberikan kepada para pemenangnya. Betul
demikian, bukan?
Akhirnya,
buku ini layak untuk diapresiasi secara positif, mengingat materi yang
disuguhkan dalam buku ini dapat menambah wawasan kita tentang memahami
ayat-ayat Al-Qur’an melalui penedekatan sastrawi, walaupun sebenarnya masih ada
beberapa hal yang kiranya mesti juga disinggung oleh penulis seperti biografi
Amin Al-Khulli sendiri, sehingga para pembaca juga mengetahui profil dari
Al-Khulli, karena, pada dasarnya Al-Khulli bukanlah peletak ide dasar metode
tafsir sastrawi. Namun, meskipun demikian, peran Al-Khulli dalam pengembangan
metode tafsir sastrawi tidaklah bisa dipandang sebelah mata.
*) Pernah Dimuat di NU Online, 1 September 2014
*) Pernah Dimuat di NU Online, 1 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar